KAIDAH ASASIyah
A. Pengertian
Kaidah Asasi
Kaidah Asasi
semula dinamakan kaidah ushul, yakni kaidah pokok dari segala kaidah fiqhiyah
yang ada. Setiap permasalahan furu’iyah dapat diselesaikan dengan kalimat
kaidah tersebut walaupun seorang mujtahid belum sempat memperhatikan
dasar-dasar hukum secara tafshili.
Kaidah Asasi
itu digali dari sumber-sumber hukum baik melalui al-Qur’an dan as-Sunnah maupun
dalil-dalil istinbath. Karena itu, setiap kaidah didasarkan atas nash-nash
pokok yang dapat dinilai sebagai standar hukum fiqih, sehingga sampai dari nash
itu dapat diwakili dari sekian populasi nash-nash ahkam.
B. Al-Qawaid al
- Khamsah (Lima Kaidah Asasi)
Kelima
kaidah tersebut dibawah ini sangat masyhur dikalangan mazhab al-Syafi’i
khususnya dan di kalangan mazhab-mazhab lain umumnya meskipun urutannya tidak
selalu sama.
1. Kaidah yang
berkaitan dengan niat
a.
Teks kaidahnya
الأُمُوْرُبِمِقَا صِدِهَا
Artinya: “Segala perkara tergantung kepada
niatnya”.
b.
Dasar-dasar nash kaidah
·
Firman Allah SWT:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ
مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا
الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Artinya: “
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus…” (QS.
al-Bayyinah [98]: 5).
·
Sabda Nabi SAW:
إِنَّمَا الْاَ عْمَا لُ بِا لنِّبَا تِ وَاِ نَّمَا
لِكُلِّ امْرِ ئٍ مَا نَوَ ى
Artinya: “Sesungguhnya
segala amal tergantung pada niat, dan sesungguhnya bagi seseorang itu hanyalah
apa yang ia niati.”
c.
Eksistensi niat
Niat di kalangan
ulama-ulama Syafi’iyah diartikan dengan bermaksud melakukan sesuatu disertai
dengan pelaksanaannya.
قَصْرُالشَيْئِ مُقْتَرِنًا بِفِعْلِهِ
أَوالقَصْرُالمُقَارِنُ لِلْفِعْلِ
Didalam shalat misalnya yang dimaksud dengan niat
adalah bermaksud didalam hati dan wajib niat disertai dengan takbirat
al-ihram.[1]
القَصْدُ بِا لقَلْبِ وَيَجِبَ أَنْ تَكُوْنَ النِّيَةُ
مُقَارُ نَةً للتَكْبِيْرِ
Dikalangan mazhab Hambali juga menyatakan bahwa tempat
niat ada didalam hati karena niat adalah perwujudan dari maksud dan tempat dari
maksud adalah hati. Jadi apabila meyakini/beritikad didalam hatinya. Itu pun
sudah cukup dan wajib niat didahulukan dari perbuatan. Yang lebih utama, niat
bersama-sama dengan takbirat al-ihram didalam shalat, agar niat ikhlas
menyertainya dalam ibadah.
Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun
makna perbuatan seseorang, apakah seseorang melakukan suatu
perbuatan itu dengan niat ibadah kepada Allah dengan melakukan perbuatan yang
diperintahkan atau yang disunnahkan agama ataukah dia melakukan perbuatan
tersebut bukan dengan niat ibadah kepada Allah, tetapi semata-mata karena
kebiasaan saja. Apabila seseorang mampir disebuah mesjid, kemudian duduk atau
tiduran dimesjid tersebut, maka apakah dia berniat I’itikap ataukah tidak.
Apabila dia berniat ihtikaf dimesjid tersebut, maka dia mendapat pahala dari
ibadah ikhtikafnya.
Dikalangan para ulama ada kesepakatan bahwa suatu
perbuatan ibadah adalah tidak sah tanpa disertai niat, kecuali untuk beberapa
hal saja, yang termasuk kekecualian dari kaidah-kaidah tersebut diatas.
Dari penjelasan diatas bisa disimpulkan bahwa fungsi
niat adalah:
1.
Untuk membedakan antara ibadah dan
adat kebiasaan.
2.
Untuk membedakan kualitas perbuatan,
baik kebaikan ataupun kejahatan.
3.
Untuk menentukan sah tidaknya suatu
perbuatan ibadah tertentu serta membedakan yang wajib dari yang sunah.
Secara lebih
mendalam lagi para fuqaha (ahli hukum islam) merinci masalah niat ini baik
dalam bidang ibadah mahdlah, seperti thaharah (bersuci), wudhu, tayamum, mandi
junub, shalat, qasar jamak, wajib, sunnah, zakat, haji, saum ataupun didalam
muamalah dalam arti luas atau ibadah ghair mahdlah, seperti pernikahan, talak,
wakaf, jual beli, hibah, wasiyat, sewa-menyewa, perwakilan, utang-piutang, dan
akad-akad lainnya.
Diantara
kekecualian kaidah diatas antara lain:
1.
Suatu perbuatan yang sudah jelas-jelas
ibadah bukan adat, sehingga tidak bercampur dengan yang lain. Dalam hal ini
tidak diperlukan niat, seperti iman kepada Allah, makrifat, khauf, zikir dan
membaca al-Qur’an kecuali apabila membacanya dalam rangka nazar.
2.
Tidak diperlukan niat didalam meninggalkan
perbuatan, seperti meninggalkan perbuatan zina dan perbuatan-perbuatan lain
yang dilarang karena dengan tidak melakukan perbuatan tersebut maksudnya sudah
tercapai.
3.
Keluar dari shalat tidak diperlukan
niat, karena niat diperlukan dalam melakukan suatu perbuatan bukan untuk
meninggalkan suatu perbuatan.
Dikalangan
mazhab Hanafi ada kaidah:
لاَ ثَوَابَ إِلَابِالنِيَةِ
Artinya: “Tidak
ada pahala kecuali niat”.
Kaidah ini dimasukkan ke dalam al-qawa’id al-kulliyah
yang pertama sebelum al-umur bimaqashidiha.
Sedangkan dikalangan mazhab Maliki, kaidah tersebut
menjadi cabang dari kaidah al-umur bimaqashidiha, seperti
diungkapkan oleh Qadhi Abd Wahab al-Baqdadi al-Maliki. Tampaknya pendapat
mazhab Maliki ini bisa lebih diterima karena kaidah diatas asalnya.
لاَثَوَابَ وَلاَعِقَابَ إِلاَبِا النِيَةِ
Artinya: “Tidak
ada pahala dan tidak ada siksa kecuali karena niatnya”.
2. Kaidah yang
berkenaan dengan keyakinan
a.
Teks kaidahnya
اَلْيَقِيْنُ لاَيُزَالُ بِا لشَكِ
Artinya: “Keyakinan
itu tidak dapat dihilangkan dengan kerugian”.
Didalam kitab-kitab fikih banyak dibicarakan tentang
hal yang berhubungan dengan kenyakinan dan keraguan. Misalnya: orang yang sudah
yakin suci dari hadas, kemudian dia ragu, apakah sudah batal wudhunya atau
belum? Maka dia tetap dalam keadaan suci. Hanya saja untuk ihtiyath
(kehati-hatian), yang lebih utama adalah memperbarui wudhunya.
Contoh lain dalam fiqh jinayah, apabila seseorang
menyangka kepada orang lain melakukan kejahatan, maka sangkaan tersebut tidak
dapat diterima. Kecuali ada bukti yang sah dan menyakinkan bahwa orang tersebut
telah melakukan kejahatan.
b.
Dasar-dasar nash kaidah
·
Sabda Nabi SAW:
اِذَاوَجَدَ
أَحَدُ كُمْ فِي بَصْنِهِ شَيْئًا فَآَ شْكَلَ عَلَيْهِ اَخَرَجَ مِنْهُ شَيْ
ءٌأَمْ لاَفَلاَ يَخْرُجَنَ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَى يَسْمَعَ
صَوْتًاأَوْيَجِدْرِيْحًا (رواه مسلم عن أبى هريرة)
Artinya: “Apabila
seseorang diantara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya. Kemudian dia ragu
apakah sesuatu itu telah keluar dari perutnya atau belum. Maka orang tersebut
tidak boleh keluar dari mesjid sampai dia mendengar suara (kentut) atau mencium
baunya”. (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
دَعْ مَايُرِيْبُكَ إِلَى مَالاَيُرِيْبُكَ
Artinya: “Tinggalkanlah
apa yang meragukanmu, berpindahlah kepada yang tidak meragukanmu”. (HR.
al-Nasai dan al-Turmudzi dari Hasan bi Ali).
Yang dimaksud dengan yakin disini adalah:
هُوَمَاكَانَ ثَابِتًابِالنَظَرأَواالدَّ لِيْل
Artinya:
“Sesuatu yang menjadi tetap karena penglihatan panca indra atau dengan adanya
dalil”.
Adapula yang mengertikan yakin dengan ilmu tentang
sesuatu yang membawa kepada kepastian dan kemantapan hati tentang hakikat
sesuatu itu dalam arti tidak ada keraguan lagi.
Adapun yang dimaksud dengan al-Syak disini adalah:
هُوَمَاكَانَ مُتَرَدِّدًابَيْنَ الثُبُوْتِ وَعَدَ مِهَ
مَعَ تَسَاوِى طَرَفَرِالصَوَابِ وَالخَطَاءِ دُوْنَ تَرْ جِيْعِ اَحَرِ
هِمَاعَلَى الاحَرِ
Artinya: “Suatu
pertentangan antara kepastian dengan ketidakpastian tentang kebenaran dan
kesalahan dengan kekuatan yang sama dalam arti tidak dapat ditarjihkan salah
satunya”.
Ada kekecualian dari kaidah tersebut diatas, misalnya
wanita yang sedang menstruasi yang meragukan, apakah sudah berhenti atau belum.
Maka ia wajib mandi besar untuk shalat. Contoh lain: baju seseorang terkena
najis, tetapi ia tidak tahu bagian mana yang terkena najis maka ia wajib
mencuci baju seluruhnya.
Sesungguhnya contoh-contoh diatas menunjukkan kepada
ihtiyath dalam melakukan ibadah tidak langsung merupakan kekecualian. Mazhab
Hanafi mengecualikan dari kaidah tersebut dengan menyebut 7 macam contoh.
Sedangkan mazhab Syafi’i menyebut 11 contoh.
Sedangkan materi-materi fiqh yang terkandung dalam
kaidah al-yaqin la yuzal bi al-syak, tidak kurang dari 314 masalah fiqh.
Mazhab yang tidak mau menggunakan hal-hal yang
meragukan adalah mazhab Maliki dan sebagian ulama Syafi’iyah, karena mereka
menerapkan konsep ihtiyath-nya. Memang dalam ibadah memerlukan kepastian dan
kepuasan batin hanya bisa dicapai dengan ihtiyah (kehati-hatian).
Tentang syak atau keraguan ini barangkali perlu
dikemukan disini pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziyah: “Perlu diketahui bahwa
didalam syariah tidak ada sama sekali yang meragukan. Sesungguhnya syak
(keraguan) itu datang kepada mukallaf (subyek hukum) karena kontradiksinya dua
indikator atau lebih, maka masalahnya menjadi meragukan baginya (mukallaf).
Dari kaidah asasi al-yaqin la yuzal bi al-syak ini
kemudian muncul kaidah-kaidah yang lebih sempit ruang lingkupnya, misalnya:
اليَقِيْنُ
يُزَالُ بِاليَقِيْنِ مِثْلِهِ
Artinya: “Apa
yang yakin bisa hilang karena adanya bukti lain yang menyakinkan pula”.
Kita yakin sudah berwudhu, tetapi kemudian kita yakin
pula telah buang air kecil, maka wudhu kita menjadi batal.
أَنَّ
مَاثَبَتَ بِيَقِيْنِ لاَيُرْتَفَعُ إِلاَبِيَقِيْنٍ
Artinya: “Apa
yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kacuali dengan keyakinan
lagi”.
Thawaf ditetapkan dengan dasar dalil yang menyakinkan
yaitu harus tujuh putaran. Kemudian dalam keadaan thawaf, seseorang ragu apakah
yang dilakukannya putaran keenam atau kelima. Maka yang menyakinkan adalah
jumlah yang kelima, karena putaran yang kelima itulah yang menyakinkan.
اَلآَصْلُ
بَرَاءةُالذِمَةِ
Artinya: “Hukum
asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab”.
Pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan bebas
dari tuntutan, baik yang berhubungan dengan hak Allah maupun dengan hak Adami.
Setelah dia lahir muncullah hak dan kewajiban pada dirinya.
الآَصْلُ
بقَاءُمَاكَانَ عَلَى مَاكَانَ مَالَمْ يَكُنْ مَايُغَيِرُهُ
Artinya: “Hukum
asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal lain yang mengubahnya”.
اَلآَصْلُ
فِيْ الصِفَاتِ العَارِضَةِالعَدَمُ
Artinya: “Hukum
asal pada sifat-sifat yang datang kemudian adalah tidak ada”.
اَلآَصْلُ
إِضَافَةُالحَادِثِ إِلرَأَقْرَبِ أَوقَاتِهِ
Artinya: “Hukum
asal adlah penyandaran suatu peristiwa kepada waktu yang lebih dekat
kejadiannya”.
Apabila terjadi keraguan karena perbedaan waktu dalam
suatu peristiwa, maka hokum yang ditetapkan adalah menurut waktu yang paling
dekat kepada peristiwa tersebut, karena waktu yang paling dekat yang menjadikan
peristiwa itu terjadi, kecuali ada bukti lain yang menyakinkan bahwa peristiwa
tersebut terjadi pada waktu yang lebih jauh.
اَلآَصْلُ
فِي الآَشْيَاءِالإِبَاحَةُحَتَى يَدُلَ الدَلِيْلُ عَلَى التَحْرِيْمِ
Artinya: “Hukum
asal segala sesuatu itu adalah kebolehan sampai ada dalil yang menunjukkan
keharamnya”.
Contohnya: apabila ada binatang yang belum ada dalil
yang tegas tentang keharamannya, maka hukumnya boleh dimakan.
اَلأَصْلُ
فِي الكَلاَمِ الحَقِيْقَةُ
Artinya: “Hukum
asal dari suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya”.
Qadhi Abd al-Wahab al-Maliki menyebutkan dua kaidah
lagi yang berhubungan dengan kaidah,” al-yaqin la yuzal bi al-syak”, yaitu:
لاَعِبْرَةَبِالظَنِ الَذِي يَظْهَرُخَطَاءُهُ
Artinya: “Tidak
dianggap (diakui) persangkaan yang jelas salahnya”.
لاَعِبْرَةَ
لِلتَوَ هُمِ
Artinya: “Tidak
diakui adanya waham (kira-kira)”.
Bedanya zhann dan waham adalah didalam zhann yang
salah itu persangkaannya. Sedangkan dalam waham, yang salah itu zatnya.
مَاثَتَبَتَ
بِزَمَنٍ يُحْكَمُ بَبَقَاءِهِ مَالَمْ يَقُمْ الدَلِيْلُ عَلَى خِلاَفِهِ
Artinya: “Apa
yang ditetapkan berdasarkan waktu, maka hukumnya ditetapkan berdasarkan
berlakunya waktu tersebut selama tidak ada dalil yang bertentangan dengannya”.
3. Kaidah yang
berkenaan dengan kondisi menyulitkan
a.
Teks kaidahnya
المَشَقَةُ تَجْلِبُ التَيْسِيْرُ
Artinya: “Kesulitan
mendatangkan kemudahan”.
b.
Dasar-dasar nash kaidah
·
Firman Allah SWT:
يُرِيْدُ اللهُ بِكُمْ الْيُسْرِوَلاَيُرِيْدُ بِكُمُ
الْعُسرَ
Artinya: “Allah
menghendaki kemudahan bagi kalian, dan Dia tidak menghendaki kesulitan bagi
kalian”. (QS. al-Baqarah[2]: 185).
·
Sabda Nabi SAW:
الدِيْنُ يُسْرٌاخُبُ الدِيْنِ إلَى اللهِ الخفِيَةَ
السَمْحَةَ (رواه البخر)
Artinya: “Agama
itu memudahkan, agama yang disenangi Allah adalah agama yang benar dan mudah”. (HR.
Bukhari dari Abu Hurairah).
Dalam ilmu fiqh, kesulitan yang membawa kepada
kemudahan itu setidaknya ada tujuh macam yaitu:
1.
Sedang dalam perjalanan, misalnya
boleh qasar shalat, buka puasa, dan meninggalkan shalat jum’at.
2.
Keadaan sakit, misalnya boleh
tayamum ketika sulit memakai air shalat fardhu sambil duduk.
3.
Keadaan terpaksa yang membahayakan
kepada kelangsungan hidupnya.
4.
Lupa, misalnya seseorang lupa makan
dan minum pada waktu puasa, lupa membayar utang tidak diberi sanksi tetapi
bukan pura-pura lupa.
5.
Ketidaktahuan, misalnya orang yang
baru masuk Islam karena tidak tahu, kemudian makan makanan yang diharamkan,
maka dia tidak dikenai sanksi.
6.
Umum al-Balwa, misalnya kebolehan
bai al-salam (Uangnya dahulu, barangnya belum ada). Kebolehan dokter melihat
kepada bukan mahramnya demi untuk mengobati sekadar yang dibutuhkan dalam
pengobatan.
7.
Kekuranganmampuan bertindak hukum (al-naqsh),
misalnya anak kecil, orang gila, orang dalam keadaan mabuk.
c.
Klasifikasi kesulitan
Dr. Wahbah
az-Zuhaili mengklasifikasikan kesulitan dalam 2 kategori, yaitu:
1.
Kesulitan Mu’tadah
Kesulitan mu’tadah adalah
kesulitan yang alami, dimana manusia mampu mencari jalan keluarnya sehingga ia
belum masuk pada keterpaksaan. Kesulitan model ini tidak dapat di hilangkan
taklif dan tidak menyulitkan untuk melakukan ibadah. Misalnya seseorang
kesulitan mencari pekerjaan, ia dapat pekerjaan yang sangat berat, keberatan
ini bukan berarti diperbolehkan keringanan dalam melakukan shalat atau puasa
dan sebagainya, atau karena kesulitan mencari ma’isah ittu menggugurkan hukum
qishas.
2.
Kesulitan Qhairu Mu’tadah
Kesulitan qhairu
mu’tadah adalah kesulitan yang tidak pada kebiasaan, dimana manusia
tidak mampu memikul kesulitan itu. Karena jika ia melakukannya niscaya akan
merusak diri dan memberatkan kehidupannya, dan kesulitan-kesulitan ini dapat
diukur oleh criteria akal sehat. Syariat sendiri serta kepentingan yang
dicapainya, kesulitan semacam ini diperbolehkan menggunakan dispensasi (rukhsah).
d.
Tingkatan kesulitan dalam ibadah
Dr. Wahbah
az-Zuhaili membagi tingkatan kesulitan dalam ibadah menjadi 3 macam, yaitu:
1. Kesulitan Adhimah,
yaitu kesulitan yang dikhawatirkan akan rusaknya jiwa ataupun jasad manusia.
2. Kesulitan Khofifah,
yaitu kesulitan karena sebab yang ringan, seperti kebolehan menggunakan muza
jika sangat dingin menyentuh air.
3. Kesulitan Mutawasithah,
yaitu kesulitan yang
tengah-tengah antara yang berat dan yang ringan. Berat ringannya kesulitan
tergantung pada persangkaan manusia, sehingga tidak diwajibkan memilih rukhshah
juga tidak dilarang memilihnya.
e.
Bentuk-bentuk keringanan dalam
kesulitan
Syekh
Izzudin bin Abdis salam menyatakan bahwa bentuk-bentuk keringanan dalam
kesulitan itu ada 6 macam, yaitu:
1.
Tahfitul isqoth (meringankan
dengan menggugurkan)
Misalnya
menggugurkan kewajiban shalat jum’at, ibadah haji dan umrah serta jihad jika
ada uzur.
2.
Tahfitul tanqish (meringankan
dengan mengurangi)
Misalnya
bolehnya menggashar shalat dari 4 rakaat menjadi 2 rakaat.
3.
Tahfitul ibdal (meringankan
dengan mengganti)
Misalnya
dengan mengganti wudhu dengan tayamum, mengganti berdiri dengan duduk atau
berbaring ketika shalat.
4.
Tahfitul taqdim (meringankan
dengan mendahulukan waktunya)
Misalnya
kebolehan jamak taqdim, yakni shalat ashar dilakukan shalat zuhur, mendahulukan
zakat sebelum setahun, mendahulukan zakat fitrah sebelum akhir ramadhan.
5.
Tahfitul ta’khir (meringankan
dengan mengakhirkan waktu)
Misalnya
jamak takhir, yakni shalat zuhur dapat dilakukan pada waktu shalat ashar,
mengakhiri puasa ramadhan bagi yang bepergian dan yang sakit.
6.
Tahfitul tarkhsih (meringankan
dengan kemurahan)
Misalnya
kebolehan menggunakan benda najis atau khomr untuk keperluan berobat.
4. Kaidah yang
berkenaan dengan kondisi membahayakan
a.
Teks kaidahnya
الضَرَرُيُزَالُ
Artinya: “Kemudaratan
harus dihilangkan”.
Seperti dikatakan oleh Izzuddin Ibn Abd al-Salam bahwa
tujuan syariah itu adalah untuk meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan.
Kaidah tersebut di atas kembali kepada tujuan untuk merealisasikan maqashid
al-syari’ah dengan menolak yang mafsadah, dengan cara menghilanhkan
kemudaratan atau setidaknya meringankannya.
Contoh-contoh dibawah ini antara lain memunculkan
kaidah diatas:
1. Larangan
menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat karena perbuatan tersebut
mengakibatkan kemudaratan bagi rakyat.
2. Adanya berbagai
macam sanksi dalam fiqh jinayah (hukum pidana Islam) adalah juga untuk
menghilangkan kemudaratan.
3. Adanya
aturan al-Hajr (kepailitan) juga dimaksudkan untuk
menghilangkan kemudaratan.
b.
Dasar-dasar nash yang berkaitan
·
Firman Allah SWT:
وَلاَ تُفْسِرُوَافِى الْاَرْضِ (الاعراف: ه ه)
Artinya: “Dan
jangan kamu sekalian membuat kerusakan dibumi. “. (QS. al-A’raf : 55).
·
Sabda Nabi SAW:
لاَضَرَرَوَلاَضِرَارَ
Artinya: “…Tidak
boleh membuat kerusakan pada diri sendiri serta membuat kerusakan pada orang
lain”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas).
c.
Kaidah-kaidah yang berkenaan dengan
kondisi mudarat
·
Kaidah pertama:
اَضَرُوْرَاتُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ
Artinya: “Kemudaratan-kemudaratan
itu dapat memperbolehkan keharaman”.
Batasan kemudaratan adalah suatu hal yang mengancam
eksistensi manusia yang terkait dengan lima tujuan, yaitu memelihara agama,
memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan memelihara keturunan
dan memelihara kehormatan atau harta benda.
·
Kaidah kedua:
مَاأُبِيْعَ للضَرُورَاتِ يُقَدَرُبِقَدَرِهَا
Artinya: “
Apa yang dibolehkan karena darurat diukur sekadar kedaruratannya”.
Kebolehan berbuat atau meninggalkan sesuatu karena
darurat adalah untuk memenuhi penolakan terhadap bahaya, bukan selain ini.
Dalam kaitan ini Dr. Wahbah az-Zuhaili membagi kepentingan manusia akan sesuatu
dengan 4 klasifikasi, yaitu:
1.
Darurat.
2.
Hajah.
3.
Manfaat.
4.
Fudu.
·
Kaidah ketiga:
جَازَ لِعُذْرٍ بَطَلَ بَزَ وَالِهِمَا
Artinya: “Apa
yang diizinkan karena adanya udzur, maka keizinan itu hilang manakala udzurnya
hilang”.
·
Kaidah keempat:
اَلْمَيْسُوْرُلاَيُسْقَطُ بِا لْمَعْسُوْرِ
Artinya: “Kemudahan
itu tidak dapat digugurkan dengan kesulitan”.
·
Kaidah kelima:
اَلْاِ ضْطَرَارُيُبْطِلُ حَقَ الْغَيْرِ
Artinya: “Keterpaksaan
itu tidak dapat membatalkan hak orang lain”.
·
Kaidah keenam:
دَرْءُالْمَفَاسِدِاَوْلَى مِنْ جَلْبِى الْمَصَالِعِ
فَاِذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَةٌ وَمَصْلَحَةٌ قُدِ مَ دَ فْعُ الْمَفْسَدَةِ غَا
لِبًا
Artinya: “Menolak
kerusakan lebih diutamakan daripada menarik mashlahah dan apabila berlawanan
antara yang mafsadah dan mashlahah maka yang didahulukan adalah menolak
mafsadahnya”.
·
Kaidah ketujuh:
اَلضَرَرُلاَيُزَالُ بِا لضَرَرِ
Artinya: “Kemudaratan
itu tidak dapat dihilangkan dengan kemudaratan yang lain”.
·
Kaidah kedelapan:
اِذَاتَعَارَضَ مَفْسَدَ تَانِ رُوْ عِيْ اَعْظَمُهَا
ضَرَرًابِارْ تِكَا بِ الْخَفِّهِمَا
Artinya: “Apabila
dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar mudaratnya
dengan memilih yang lebih ringan mudaratnya”.
·
Kaidah kesembilan:
اَلْحَا جَةُ الْعْا مَةُ اَوِالْخَا صَةُ تَنْزِلُ
مَيْزِ لَةَ الضَرُوْرَةِ
Artinya: “Kebutuhan
umum atau khusus dapat menduduki tempatnya darurat”.
4. Kaidah yang
berkenaan adat kebiasaan
a.
Teks kaidahnya
اَلعَا دَةُ مُحَكَمَةٌ
Artinya: “Adat
kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”.
Sebelum Nabi Muhammad SAW diutus, adat kebiasaan sudah
berlaku di masyarakat baik di dunia Arab maupun dibagian lain termasuk di
Indonesia. Adat kebiasaan suatu masyarakat dibangun atas dasar nilai-nilai yang
dianggap oleh masyarakat tersebut. Nilai-nilai tersebut diketahui, dipahami,
disikapi, dan dilaksanakan atas dasar kesadaran masyarakat tersebut.
b.
Dasar-dasar nash kaidah
·
Firman Allah SWT:
وَعَا شِرُوَهُنَ بِا الْمَعْرُوْفِ
Artinya: “
Dan pergaulilah mereka (istri-istrimu) dengan cara yang ma’ruf(baik)”. (HR.
Ahmad dari Ibnu Mas’ud).
·
Sabda Nabi SAW:
اَلْعَادَةُمَا
اسْتَمَرَالنَاسُ عَلَيْهِ عَلَى حُكْمِ الْمَعْقُوْ لِ وَعَادُوْا اِلَيْهِ
مَرَةً بَعْدَاُخْرَى
Artinya: “Apa
yang dipandang baik oleh muslim maka baik pula disisi Allah”. (HR.
Ahmad dari Ibnu Mas’ud).
c.
Pengertian ‘Adah atau ‘uruf
Jumhur ulama
mengidentikkan term ‘adah dengan ‘uruf, keduanya
mempunyai arti yang sama. Namun sebagai fuqaha membedakannya. Al-Jurjani
misalnya mendefinisikan ‘adah dengan:
Adah adalah
suatu (perbuatan) yang terus menerus dilakukan manusia, karena logis dan
dilakukan secara terus menerus. Sedangkan ‘uruf tidak hanya
merupakan perkataan, tetapi juga perbuatan atau juga meninggalkan sesuatu.
Karena itu dalam terminology bahasa Arab antara ‘uruf dan ‘adahtiada
beda.
Misalnya ‘uruf
/ ‘adah adalah menggunakan kalender haid bagi wanita, setiap bulan
seseorang wanita mengalami menstruasi dan cara perhitungannya ada yang
menggunakan metode tamyiz dan ada juga metode ‘adah (yakni
menganggap haid atas hari-hari kebiasaan keluarnya darah tiap bulan). Bagi Imam
hanafi mewajibkan penggunaan metode adah sedang Imam Syafi’I menguatkan metode
tamyiz.
d.
Syarat diterimanya ‘uruf /‘adah
Menurut
pengertian diatas, maka adah dapat diterima jika memenuhi syarat sebagai
berikut:
1.
Perbuatan yang dilakukan logis dan
relevan dengan akal sehat.
2.
Perbuatan, perkataan yang dilakukan
selalu terulang-ulang boleh dikata sudah mendarah daging pada perilaku
masyarakat.
3.
Tidak bertentangan dengan ketentuan
nash, baik al-Qur’an maupun as-Sunnah.
4.
Tidak mendatangkan kemudaratan serta
sejalan dengan jiwa dan akal yang sejahtera.
e.
Kaidah yang berkaitan dengan adah
Diantara
kaidah-kaidah cabang dari kaidah al-adah muhkamah adalah sebagai berikut:
·
Kaidah pertama:
إِسْتِعْمَا لُ النَاسِ حُجَةٌ يَجِبُ العَمَلُ بِهَا
Artinya: “Apa
yang biasa diperbuat orang banyak adalah hujjah yang wajib diamalkan”.
·
Kaidah kedua:
إِنَمَا تُعْتَبَرُ العَادَةُ إِذَا اضْطَرَ دَتْ
أَوْغَلَبَتْ
Artinya: “Adat
yang dianggap(sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah adat yang terus menerus
berlaku atau berlaku umum”.
·
Kaidah ketiga:
العِبْرَةُ لِلفَا لِبِ الشَا ئِعِ لاَ لِلنَا دِرِ
Artinya: “Adat
yang diakui adalah yang umumnya terjadi yang dikenal oleh manusia bukan dengan
yang jarang terjadi”.
·
Kaidah keempat:
الْمَعْرُوْفُ عُرْ فًا كَا لَمَشْرُوْ طِ شَرْ صً
Artinya: “Sesuatu
yang telah dikenal karena ‘urf seperti yang disyaratkan dengan suatu syarat”.
·
Kaidah kelima:
الْمَعْرُوَفُ بَيْنَ التُجَارِ كَ لمَشْرُوْ طِ
بَيْنَهُمْ
Artinya: “Sesuatu
yang telah dikenal diantara pedagang berlaku sebagai syarat diantara mereka”.
·
Kaidah keenam:
التَعْيِيْنُ بِا لعُرْ فِ كَا لتَعْبِيْنِ بِا لنَص
Artinya: “Ketentuan
berdasarkan ‘urf seperti ketentuan berdasarkan nash”.
·
Kaidah ketujuh:
الْمُمْتَنَعُ عَا دَةً كَا لمُمْتَنَعِ حَقَيْقَةً
Artinya: “Sesuatu
yang tidak berlaku berdasarkan adat kebiasaan seperti yang tidak berlaku dalam
kenyataan”.
·
Kaidah kedelapan:
الحَقِيْقَةُ تُتْرَ كُ بِدَ لاَ لَةِا لعَا دَةِ
Artinya: “Arti
hakiki ditinggalkan karena ada petunjuk arti menurut adat”.
·
Kaidah kesembilan:
الإِذْ نُ العُرْ فِى كَا لإِذْ نِ اللَفْظِى
Artinya: “
Pemberian izin menurut adat kebiasaan adalah sama dengan pemberian izin menurut
ucapan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar