MAKALAH MUTLAQ, MUQAYYAD,
MANTHUQ, DAN MAFHUM
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulumul
Quran
Dosen Pengampu: Bapak Drs.
Saeful Anwar, M. Ag.
DISUSUN OLEH:
1.
ANNA
MUTIARANI (1164020022)
2.
MUHAMAD
MAULANA YUSUF (1164020103)
3.
MUHAMMAD
DZIKRI FACHRIZAL (1164020110)
4.
MUHAMMAD
IQBAL (1164020114)
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga
makalah ini dapat diselesaikan. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah
Ulumul Quran. Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat dan menambah
wawasan bagi penulis pada khususnya dan bagi semua kalangan pada umumnya.
Penulis membuat makalah ini dari kumpulan buku, dan internet sebagai pedoman
membuat makalah.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dosen Mata Kuliah Ulumul Quran yaitu Bapak Drs. Saeful Anwar, M. Ag.
Kepada teman mahasiswa yang secara langsung maupun tidak langsung memberikan
motivasi dalam pengembangan makalah ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini
masih banyak kekurangan dan perlu ditingkatkan lagi mutunya. Oleh karena itu,
kritik dan saran dari berbagai pihak yang membangun sangat diharapkan.
Bandung, 23 November 2016
Penulis,
DAFTAR ISI
Halaman Judul.................................................................................................. i
Kata Pengantar................................................................................................. ii
Daftar Isi.......................................................................................................... iii
BAB I :
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............................................................................................
1
B. Rumusan Masalah........................................................................................
2
C. Tujuan dan Manfaat.....................................................................................
2
BAB II :
PEMBAHASAN
A. Mutlaq dan Muqayyad................................................................................
3
a.
Pengertian Mutlaq dan
Muqayyad..........................................................
3
b.
Kaidah Mutlaq dan Muqayyad...............................................................
5
c.
Macam – Macam Mutlaq dan Muqayyad dan Status Hukum Masing –
Masing 11
d.
Membawa Hukum Mutlaq kepada
Muqayyad.......................................
12
B.
Manthuq dan
Mafhum................................................................................. 17
a.
Pengertian
Manthuq dan Mafhum..........................................................
16
b. Pembagian Manthuq dan Mafhum..........................................................
18
BAB III :
PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................................. 22
B. Kritik dan Saran........................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Quran merupakan kitab suci dan sumber ajaran Islam yang pertama dan
utama. Apabila diteliti dengan seksama, maka akan ditemukan bahwa Al-Quran
mengandung keunikan-keunikan makna yang tiada akan pernah habis untuk dikaji
dan memberi isyarat makna yang tak terbatas. Kedudukan Al-Quran sebagai rujukan
utama umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan mereka dan terbukanya untuk
interpretasi baru, merupakan motivasi tersendiri terhadap lahirnya usaha-usaha
untuk menafsirkan dan menggali kandungan maknanya.
Ketika berbicara mengenai ayat-ayat yang terkandung dalam Al-Quran,
sebenarnya dari semua ayat yang ada tersebut tidak semuanya memberikan arti/pemahaman
yang jelas. Jika ditelusuri, ternyata banyak sekali ayat yang masih butuh
penjelasan yang lebih mendalam mengenai hukum yang tersimpan dalam ayat
tersebut. Ini menunjukkan bahwa ternyata ayat-ayat Al-Quran itu tidak hanya
memberikan pemahaman secara langsung dan jelas, tetapi juga terdapat ayat yang
maknanya tersirat di dalam ayat tersebut.
Dalam
menafsirkan Al-Quran, kita harus dapat mengetahui kaedah-kaedahnya. Apalagi
untuk menetapkan suatu hukum. Dalam ilmu ushul fiqh, pemaknaan lafal Al-Quran
yang digunakan untuk menentukan suatu hukum. Oleh
karena itu, agar dapat memahami dan mengetahui hukum atau makna yang terdapat
dalam ayat-ayat Al-Quran, dalam makalah ini akan dipaparkan sedikit penjelasan
guna menambah pemahaman pembaca. Sebagian aspek tersebut yaitu mengenai
empat, yaitu mutlaq, muqayyad, manthuq, dan mafhum.
B.
Rumusan
Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, adapun rumusan masalahnya adalah
sebagai berikut:
1.
Apa yang di maksud dengan mutlaq, muqayyad,
manthuq, dan mafhum?
2.
Bagaimana bentuk mutlaq dan
muqayyad?
3.
Apa saja jenis-jenis manthuq dan
mafhum?
C.
Tujuan
Adapun
tujuan dari pembuatan makaqlah ini selain untuk memenuhi tugas mata kuliah
Ulumul Quran, juga agar mahasiswa mampu mengetahui pemaknaan lafal ayat
Al-Qur’an yang akan dijadikan hujjah suatu hukum dari mutlaq, muqayyad, manthuq,
dan mafhum, serta mengetahui bentuk dan pembagian mutlaq, muqayyad, manthuq,
dan mafhum.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Mutlaq dan Muqayyad
a.
Pengertian Mutlaq dan Muqayyad
1. Mutlaq
Mutlaq
menurut ushul fiqih adalah suatu lafadz yang menunjukan pada makna/pengertian
tertentu tanpa dibatasi oleh lafadz lainnya. Misalnya: kata “meja”, “rumah”,
“jalan”, kata-kata ini memiliki makna mutlak karena secara makna kata-kata
tersebut telah menunjuk pada pengertian makna tertentu yang telah kita
pahami,Beberapa pendapat para ualam tentang mutlak dan muqayyad:
1)
Menurut Khudhari Beik, mutlaq ialah
lafadz yang memberi petunjuk terhadap satu atau beberapa satuan yang mencakup
tanpa ikatan yang terpisah secara lafdzi.
2)
Menurut Abu Zahrah, mutlaq ialah
lafadz yang memberi petunjuk terhadap maudhu’nya tanpa memandang kepada
satu, banyak, atau sifatnya, tetapi memberi petunjuk kepada hakikat
sesuatu menurut apa adanya.
3)
Menurut Ibnu Subki memberikan
definisi bahwa mutlaq adalah lafadz yang memberi petunjuk kepada hakikat
sesuatu tanpa ikatan apa-apa.
Munurut bahasa
yaitu tidak terikat. Sedangkan menurut istilah adalah suatu kata yang
menunjukan suatu materi tanpa ikatan. Mutlaq
adalah Lafaz yang menunjukan suatu hakikat tanpa suatu qayid (pembatas).
Jadi ia hanya menunjukan kepada suatu individu tidak tertentu dari hakikat
tersebut. Lafadz mutlaq ini pada umumnya berbentuk nakirah dalam konteks kalimat positif. Misalnya lafadz رَقَبَةٍ (seorang
budak) dalam ayat:
فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ
Yang
artinya: “(maka [wajib atasnya]
memerdekakan seorang budak)…” (Q.S. Al-Mujadalah [58]: 3). Pernyataan ini
diliputi pembebasan seorang budak yang mencakup segala jenis budak, baik itu yang
mukmin atau yang kafir. Lafadz “raqabah” adalah nakiroh dalam konteks positif. Karena itu pengertian ayat ini
adalah, wajib atasnya memerdekakan seorang budak dengan jenis apapun juga. Oleh
karena itu, ulama ushul mendefinisikan mutlaq dengan “suatu ungkapan dengan
isim nakirah dalam kontek positif. Pengecualin isim nakirah dalam konteks
negatif (nafi) karna nakirah dalam konteks negatif memeliki arti umum
menyangkup semua individu yang termasuik jenisnya.
2. Muqayyad
Secara
bahasa, kata muqayyad berarti terikat. Sementara secara istilah, muqayyad
adalah lafal yang menunjukkan suatu satuan dalam jenisnya yang dikaitkan dengan
sifat tertentu.
Muqayyad adalah lafadz yang menunjukan suatu
hakikat dengan qayid (batasan), seperti kata-kata “raqabah” yang
dibatasi dengan “iman” dalam ayat:
فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ
Yang
artinya: “(maka [henedaklah pembunuh itu]
memerdekakan budak yang beriman)...” (Q.S. An-Nisa’ [4]: 92).
Barangsiapa
membunuh seorang mu’min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang
hamba sahaya yang beriman.
Kata raqabah dalam ayat ini memakai qayyid dalam bentuk sifat, yaitu, mu’minah (beriman). Jadi, ayat ini memerintahkan kepada orang yang membunuh seorang mukmin secara tidak sengaja untuk memerdekan hamba sahaya yang beriman dan tidak sah memerdekan hamba yang tidak beriman.
Kata raqabah dalam ayat ini memakai qayyid dalam bentuk sifat, yaitu, mu’minah (beriman). Jadi, ayat ini memerintahkan kepada orang yang membunuh seorang mukmin secara tidak sengaja untuk memerdekan hamba sahaya yang beriman dan tidak sah memerdekan hamba yang tidak beriman.
Para ulama
berkata: ”kapan saja ditemukan suatu dalil yang mengikat (menjadikan muqayad),
maka yang mutlaq itu ditafsirkan denganya. Dan jika tidak ditemukan,
maka juga tidak. Tetapi yang mutlaq itu tetap pada kemutlakanya. Dan
yang muqayad tetap pada maknanya. Karna Allah menurunkan firman-Nya
kepada kita dengan Bahasa Arab”.
Dari
penjelasan sebelumnya diketahui bahwa perbedaan antara mutlaq dengan muqayyad,
bahwa mutlaq menunjuk kepada hakikat sesuatu tanpa ada suatu keterangan yang
mengikatnya dan tanpa memperhatikan satuan serta jumlah. Misalnya, lafal
raqabah yang terdepat dalam surat al-Mujadalah ayat 3 di atas adalah bentuk
mutlaq karena tidak diikuti sifat apapun. Jadi, ayat ini memerintahkan
memerdekakan budak dalam bentuk apapun, baik mukmin atau bukan mukmin.
Sementara muqayyad menunjuk kepada hakikat sesuatu, tetapi mempertimbangkan
beberapa hal, yaitu jumlah (kuantitas), sifat atau keadaan, seperti pada contoh
di atas.
b.
Kaidah Mutlaq dan Muqayyad
Apabila nash
hukum datang dengan bentuk mutlaq dan pada sisi yang lain dengan bentuk muqayyad,
maka menurut ulama ushul ada empat kaidah di dalamnya, yaitu:
1.
Jika sebab dan hukum yang ada dalam mutlaq
sama dengan sebab dan hukum yang ada dalam muqayyad. Maka
dalam hal ini hukum yang ditimbulkan oleh ayat yang mutlaq tadi
harus ditarik atau dibawa kepada hukum ayat yang berbentuk muqayyad.
Contoh:
· Ayat Mutlaq
Surat al-Maidah ayat 3 tentang darah
yang diharamkan, yaitu:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ
الْخِنْزِيرِ (المائدة:3)
“Diharamkan
bagimu (memakan) bangkai, darah daging
babi…”
Ayat ini menerangkan bahwa darah yang diharamkan ialah
meliputi semua darah tanpa terkecuali, karena lafadz “dam” (darah)
bentuknya mutlaq tidak diikat oleh sifat atau hal-hal lain yang
mengikatnya.
Adapun sebab ayat ini ialah “dam” (darah) yang
di dalamnya mengandung hal-hal bahaya bagi siapa yang memakannya, sedangkan
hukumnya adalah haram.
·
Ayat Muqayyad
Surat al-An’am ayat 145, dalam
masalah yang sama yaitu “dam” (darah) yang diharamkan.
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا
عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا
(الأنعام:145)
“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang
diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir”.
Lafadz “dam”
(darah) dalam ayat di atas berbentuk muqayyad, karena diikuti oleh qarinah
atau qayid yaitu lafadz “masfuhan” (mengalir). Oleh
karena itu darah yang diharamkan menurut ayat ini ialah “dam-an
masfuhan” (darah yang mengalir).
Sebab dan hukum antara ayat al-An’am
ayat 145 ini dengan surat al-Maidah ayat 3 adalah sama yaitu
masalah darah yang diharamkan.
Berdasarkan
kaidah bahwa “Apabila sebab dan hukum yang terdapat dalam ayat yang mutlak
sama dengan sebab dan hukum yang terdapat pada ayat yang muqayyad, maka
pelaksanaan hukumnya ialah yang mutlak dibawa atau ditarik kepada muqayyad.”
Dengan demikian hukum yang terdapat dalam ayat 3 surat al-Maidah yakni darah
yang diharamkan harus dipahami darah yang mengalir sebagaimana surat
al-An’am ayat 145.
2.
Jika sebab yang ada dalam mutlaq
dan muqayyad sama tetapi hukum keduanya berbeda, maka dalam hal ini yang
mutlaq tidak bisa ditarik kepada muqayyad.
Contoh:
· Ayat Mutlaq
Surat al-Maidah ayat 6 tentang tayammum, yaitu:
….فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ….( المائدة:6)
“Maka
bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu
dengan tanah…”
Lafadz “yad”
(tangan) dalam ayat di atas berbentuk mutlaq karena tidak ada lafadz
lain yang mengikat lafadz “yad” (tangan). Dengan demikian kesimpulan
dari ayat ini ialah keharusan menyapukan tanah ke muka dan kedua tangan, baik
itu hingga pergelangan tangan atau sampai siku, tidak ada masalah. Kecuali jika
di sana ada dalil lain seperti hadits yang menerangkan tata cara tayammum oleh
Nabi yang memberikan contoh mengusap tangan hanya sampai pergelangan tangan.
·
Ayat Muqayyad
Surat
al-Maidah ayat 6 tentang wudhu’, yaitu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى
الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
…(المائدة:6)
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku…”
Lafadz “yad”
(tangan) dalam ayat ini berbentuk muqayyad karena ada lafadz yang mengikatnya
yaitu “ilal marafiqi” (sampai dengan siku). Maka berdasarkan ayat
tersebut mencuci tangan harus sampai siku.
Sebab dari
ayat di atas adalah sama dengan ayat mutlaq yang sebelumnya yaitu
keharusan bersuci untuk mendirikan shalat, akan tetapi hukumnya berbeda. Ayat
mutlaq sebelumnya menerangkan keharusan menyapu dengan tanah, sedang ayat muqayyad
menerangkan keharusan mencuci dengan air. Maka ketentuan hukum yang ada pada
ayat mutlaq tidak bisa ditarik kepada yang muqayyad. Artinya,
ketentuan menyapu tangan dengan tanah tidak bisa dipahami sampai siku,
sebagaimana ketentuan wudhu’ yang mengharuskan membasuh tangan sampai siku.
Dengan demikian ayat mutlaq dan muqayyad berjalan sesuai dengan
ketentuan hukumnya sendiri-sendiri tidak bisa dijadikan satu.
3.
Jika sebab yang ada pada mutlaq
dan muqayyad berbeda, tetapi hukum keduanya sama, maka yang mutlaq
tidak bisa dipahami dan diamalkan sebagaimana yang muqayyad.
Contoh:
·
Ayat Mutlaq
Surat
al-Mujadalah ayat 3 tentang kafarah dzihar yang dilakukan seorang suami
kepada istrinya.
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ
يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا
…(المجادلة:3)
“Orang-orang yang menzhihar isteri
mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka
(wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu
bercampur.”
Lafadz “raqabah”
(hamba sahaya) dalam masalah dzihar ini berbentuk mutlaq karena
tidak ada lafadz yang mengikatnya. Sehingga seorang suami yang sudah terlanjur
men-dzihar istrinya dan ingin ditarik ucapannya, maka sebelum
mencampurinya harus memerdekan hamba sahaya atau budak, baik yang beriman
ataupun yang tidak.
·
Ayat Muqayyad
Surat
an-Nisa’ ayat 92 tentang kafarah qatl (pembunuhan) yang tidak
sengaja, yaitu :
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ
مُؤْمِنَةٍ (النساء:92)
“dan
barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan
seorang hamba sahaya yang beriman.”
Lafadz “raqabah”
(hamba sahaya) dalam ayat ini berbentuk muqayyad dengan diikat lafadz “mukminah”
(beriman), maka hukumnya ialah keharusan untuk memerdekakan hamba sahaya yang
beriman. Karena sebabnya berbeda, satu masalah kafarah dzihar dan
yang lain kafarah qatl, walaupun hukumnya sama-sama memerdekakan hamba
sahaya, namun tetap diamalkan sesuai dengan ketentuannya masing-masing. Ayat mutlaq
berjalan berdasarkan kemutlaq-annya, sedang yang muqayyad berjalan
berdasarkan kemuqayyadannya.
4.
Jika sebab dan hukum yang ada pada mutlaq
berbeda dengan sebab dan hukum yang ada pada muqayyad, maka yang mutlak
tidak bisa dipahami dan diamalkan sebagaimana yang muqayyad.
Contoh:
·
Ayat Mutlaq
Masalah had
pencurian yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 38 yang berbunyi:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ( المائدة:38)
“Laki-laki yang mencuri dan
perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa
yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.”
Lafadz “yad”
dalam ayat di atas berbentuk mutlaq, yakni keharusan memotong tangan
tanpa diberi batasan sampai daerah mana dari tangan yang harus dipotong.
·
Ayat Muqayyad
Masalah wudhu’ yang dijelaskan dalam surat al-Maidah
ayat 6, yaitu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى
الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
(المائدة:6)
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku.”
Lafadz “yad”
dalam ayat wudhu’ ini berbentuk muqayyad karena diikat dengan lafadz “ilal
marafiqi” (sampai dengan siku). Ketentuannya hukumnya adalah kewajiban
mencuci tangan sampai siku.
Dari dua
ayat di atas terdapat lafadz yang sama yaitu lafadz “yad”. Ayat
pertama berbentuk mutlaq, sedangkan yang kedua berbentuk muqayyad.
Keduanya mempunyai sebab dan hukum yang berbeda. Yang mutlaq berkenaan
dengan pencurian yang hukumannya harus potong tangan. Sedangkan yang muqayyad
berkenaan masalah wudhu’ yang mengharuskan membasuh tangan sampai siku.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa yang mutlaq tidak bisa dipahami
menurut yang muqayyad.
c.
Macam - Macam Mutlaq dan Muqayyad dan Setatus Hukum
Masing - Masing
Mutlaq dan Muqayad memiliki bentuk aqliyah dan sebagai realitas
bentukya kami kemukakan berikut ini:
1. Sebab dan hukumnya sama, sepertu “puasa” untuk kafarah sumpah. Lafadz itu dalam qara’ah
mutawatir yang terdapat dalam mushaf dan diungkapkan secara mutlaq:
“Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa
selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu
bersumpah [dan kamu langgar].”
Dan ia muqayyad di
batasi dengan tatabu (berturut turut) dalam qira’ah Ibn Mas’ud (Maka
kafarahnya puasa selam tiga hari berturut-turut). Dalam hal seprti ini,
pengertian lafadz yang mutlaq dibawa kepada lapadz yang muqayyad
(dengan arti ) yang di maksud lafadz mutlaq adalah sama dengan
yang di maksud dengan lafadz muqayyad, karana sebab yang satu tidak akan
menghendaki dua hal yang bertentangan. Oleh karena itu segolong berpendapat bahwa puasa tiga hari tersebut harus
di lakukan tiga hari berturut-turut.
Maka dalam kasus ini
dipandang tidak ada mukoyyas yang karenanya lafadz mutlaq dibawa kepadanya.
2. Sebab sama namun hukum bebeda, seperti kata “tangan” dalam wudhu dan
tayamum. Membasuh tangan dalam wudhu di batasi sampai dengan siku. Dalam hal
ada yang berpendapat lafadz yang mutlaq tidak dibawa kepada lafadz
muqayyad karena berlainan hukumnya. Namun Al-Ghazali menukil dari
mayoritas ulama Syafi’i bahwa mutlaq disini dibawa kepada muqayyad
mengingat “sebab”-nya sama sekalipun berbeda hukumnya.
d.
Membawa Hukum Mutlaq kepada
Muqayyad
Apabila nash hukum
datang dengan bentuk mutlaq dan pada sisi yang lain dengan bentuk muqayyad,
maka menurut ulama ushul ada empat kaidah di dalamnya, yaitu:
1. Jika sebab dan hukum yang ada dalam mutlaq sama dengan sebab dan
hukum yang ada dalam muqayyad. Maka dalam hal ini
hukum yang ditimbulkan oleh ayat yang mutlaq tadi harus ditarik atau
dibawa kepada hukum ayat yang berbentuk muqayyad.
Contoh:
·
Ayat Mutlaq
Surat al-Maidah ayat 3 tentang darah yang diharamkan, yaitu:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ
(المائدة:3)
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah daging babi…”
Ayat ini menerangkan
bahwa darah yang diharamkan ialah meliputi semua darah tanpa terkecuali, karena
lafadz “dam” (darah) bentuknya mutlaq tidak diikat oleh sifat atau
hal-hal lain yang mengikatnya.
Adapun sebab ayat ini
ialah “dam” (darah) yang di dalamnya mengandung hal-hal bahaya bagi
siapa yang memakannya, sedangkan hukumnya adalah haram.
·
Ayat Muqayyad
Surat al-An’am ayat
145, dalam masalah yang sama yaitu “dam” (darah) yang diharamkan.
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا
أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ
مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا (الأنعام:145)
“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu,
sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau
makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir”.
Lafadz “dam”
(darah) dalam ayat di atas berbentuk muqayyad, karena diikuti oleh qarinah
atau qayid yaitu lafadz “masfuhan” (mengalir). Oleh
karena itu darah yang diharamkan menurut ayat ini ialah “dam-an
masfuhan” (darah yang mengalir).
Sebab dan hukum antara
ayat al-An’am ayat 145 ini dengan surat al-Maidah ayat 3 adalah
sama yaitu masalah darah yang diharamkan.
Berdasarkan kaidah
bahwa “Apabila sebab dan hukum yang terdapat dalam ayat yang mutlak sama
dengan sebab dan hukum yang terdapat pada ayat yang muqayyad, maka pelaksanaan
hukumnya ialah yang mutlak dibawa atau ditarik kepada muqayyad.” Dengan
demikian hukum yang terdapat dalam ayat 3 surat al-Maidah yakni darah yang
diharamkan harus dipahami darah yang mengalir sebagaimana surat al-An’am
ayat 145.
·
Ayat Mutlaq
Surat al-Maidah ayat 3
tentang darah yang diharamkan, yaitu:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ
(المائدة:3)
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah daging babi…”
Ayat ini menerangkan
bahwa darah yang diharamkan ialah meliputi semua darah tanpa terkecuali, karena
lafadz “dam” (darah) bentuknya mutlaq tidak diikat oleh sifat atau
hal-hal lain yang mengikatnya.
Adapun sebab ayat ini
ialah “dam” (darah) yang di dalamnya mengandung hal-hal bahaya bagi
siapa yang memakannya, sedangkan hukumnya adalah haram.
·
Ayat Muqayyad
Surat al-An’am ayat
145, dalam masalah yang sama yaitu “dam” (darah) yang diharamkan.
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا
أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ
مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا (الأنعام:145)
“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu,
sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau
makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir”.
Lafadz “dam”
(darah) dalam ayat di atas berbentuk muqayyad, karena diikuti oleh qarinah
atau qayid yaitu lafadz “masfuhan” (mengalir). Oleh
karena itu darah yang diharamkan menurut ayat ini ialah “dam-an
masfuhan” (darah yang mengalir).
Sebab dan hukum antara
ayat al-An’am ayat 145 ini dengan surat al-Maidah ayat 3 adalah
sama yaitu masalah darah yang diharamkan.
Berdasarkan kaidah
bahwa “Apabila sebab dan hukum yang terdapat dalam ayat yang mutlak sama
dengan sebab dan hukum yang terdapat pada ayat yang muqayyad, maka pelaksanaan
hukumnya ialah yang mutlak dibawa atau ditarik kepada muqayyad.” Dengan
demikian hukum yang terdapat dalam ayat 3 surat al-Maidah yakni darah yang
diharamkan harus dipahami darah yang mengalir sebagaimana surat al-An’am
ayat 145.
2. ketentuan hukumnya
sendiri-sendiri tidak bisa dijadikan satu.
·
Ayat Mutlaq
Surat al-Maidah ayat 3 tentang darah yang diharamkan, yaitu:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ
(المائدة:3)
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah daging babi…”
Ayat ini menerangkan bahwa darah yang diharamkan ialah meliputi semua darah
tanpa terkecuali, karena lafadz “dam” (darah) bentuknya mutlaq tidak
diikat oleh sifat atau hal-hal lain yang mengikatnya.
Adapun sebab ayat ini
ialah “dam” (darah) yang di dalamnya mengandung hal-hal bahaya bagi
siapa yang memakannya, sedangkan hukumnya adalah haram.
·
Ayat Muqayyad
Surat al-An’am ayat
145, dalam masalah yang sama yaitu “dam” (darah) yang diharamkan.
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا
أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ
مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا (الأنعام:145)
“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali
kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir”.
Lafadz “dam”
(darah) dalam ayat di atas berbentuk muqayyad, karena diikuti oleh qarinah
atau qayid yaitu lafadz “masfuhan” (mengalir). Oleh
karena itu darah yang diharamkan menurut ayat ini ialah “dam-an
masfuhan” (darah yang mengalir).
Sebab dan hukum antara
ayat al-An’am ayat 145 ini dengan surat al-Maidah ayat 3 adalah
sama yaitu masalah darah yang diharamkan.
Berdasarkan kaidah
bahwa “Apabila sebab dan hukum yang terdapat dalam ayat yang mutlak sama
dengan sebab dan hukum yang terdapat pada ayat yang muqayyad, maka pelaksanaan
hukumnya ialah yang mutlak dibawa atau ditarik kepada muqayyad.” Dengan
demikian hukum yang terdapat dalam ayat 3 surat al-Maidah yakni darah yang
diharamkan harus dipahami darah yang mengalir sebagaimana surat al-An’am
ayat 145.
B.
Manthuq dan Mafhum
a.
Pengertian Manthuq dan Mafhum
1.
Manthuq
Secara etimologi manthuq berasal bahasa Arab (نطق- ينطق) yang
artinya berbicara, منطوق (isim
maf’ul) berarti yang dibicarakan. Manthuq adalah arti yang diperlihatkan oleh lafaz yang diungkapkan
(yakni, petunjuk arti tidak keluar dari unsur-unsur huruf yang diucapkan)[1][1]. Menurut Syafi’i Karim, mantuq ialah sesuatu yang
ditunjuki lafal dan ucapan lafal itu sendiri.[2][2] Dan menurut Mudzakir, adalah suatu (makna) yang
ditunjukkan oleh lafaz menurut ucapannya, yakni penunjukkan makna berdasarkan
materi huruf-huruf yang diucapkan.[3]
Dari definisi ini diketahui bahwa apabila suatu makna
yang ditunjukkan oleh suatu lafaz menurut ucapan (makna tersurat), yakni
menunjukkan makna yang berdasarkan materi huruf-huruf yang diucapkan disebut
pemahaman secara manthuq. Misalnya,
hukum yang dipahami langsung dari teks firman Allah pada Q.S. Al-Isra’ ayat 23
yang berbunyi:
فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ
لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
Artinya: “Maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka.”
(Q.S Al-Isra’ [17]: 23).
Dengan menggunakan pemahaman secara manthuq ayat ini menunjukkan haramnya
mengucapkan kata “ah” dan membentak kedua orang tua. Larangan atau haramnya hal
tersebut langsung tertulis dan ditunjukkan dalam ayat ini.
2. Mafhum
Mafhum secara berasal bahasa Arab (فهم – يفهم) yang
artinya faham, مفهوم (isim maf’ul) berarti yang difahami. Mafhum (pemahaman) adalah arti yang
tidak diperlihatkan oleh lafaz yang diucapkan (yakni, petunjuk artinya keluar
dari unsur-unsur huruf yang dicapkan).[4][8] Menurut Syafi’i Karim, mafhum adalah sesuatu yang ditunjuk oleh lafaz, tetapi bukan dari
ucapan lafaz itu sendiri.[5][9] Dan menurut Mudzakir, ialah makna yang ditunjukkan
oleh lafaz tidak berdasarkan pada bunyi ucapan.[6][10] Dari definisi ini diketahui bahwa apabila sesuatu yang
ditunjukkan oleh suatu lafaz tidak bersandar bunyi ucapan (makna tersirat)
disebut pamahaman secara mafhum.
Dengan kata lain, mafhum ialah
pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafaz tidak dalam tempat pembicaraan,
tetapi dari pemahaman yang terdapat pada ucapan tersebut. Misalnya, hukum yang
dipahami langsung dari teks firman Allah pada Q.S. Al-Isra’ ayat 23 yang
berbunyi:
فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ
لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
Artinya: “Maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka.”
(Q.S Al-Isra’ [17]: 23).
Dengan menggunakan pemahaman secara mafhum, dimana melaluinya dapat
diketahui haram hukumnya memukul orang tua dan segala bentuk perbuatan yang menyakiti keduanya.
b. Pembagian
Manthuq dan Mafhum
1. Manthuq
Dalam hasanah ilmu ushul fiqh mantuq
terbagi menjadi dua bagian yaitu:
a.
Nash; yaitu suatu
perkataan (lafadz) yang jelas pengertianya dan tidak mungkin di ta’wilkan atau
diarahkan ke dalam pengertian lain. Seperti contoh dalam firman Allah SWT;
وَأَحَلَّ
اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا. (البقرة:175)
“Allah telah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba.” (Q.S Al-Baqarah:175).
Kata al-bai' (jual beli) atau al-riba adalah
suatu lafadz yang jelas pengertianya yang mana untuk memahami kata tersebut
tidak membutuhkan ta'wil (asumsi).
b.
Dhahir, yatiu
suatu perkataan (lafadz) yang jelas pengertianya, namun masih menimbulkan
asumsi makna (pengertian) lain yang derajatnya di bawah makna aslinya (majaz).
Seperti firman Allah SWT
أَوْ
لاَمَسْتُمُ النِّسَاء. ( النساء:43)
"Atau menyentuh perempuan". (An-Nisa':43).
Lafadz "al-lams" dalam ayat
tersebut mempunyai dua pengertian. Secara dhahir (haqiqi) lafadz
"al-lams" mempunyai arti "menyentuh" dengan
tangan. Jadi hukum menyentuh perempuan dapat membatalkan wudlu merupakan proses
dari dhahir sebuah dalil. Namun dalam sisi yang lain lafadz "al-lams"
apa bila dilihat dari majaznya mempunyai arti "jima". Artinya,
berdasarkan ayat tersebut yang membatalkan wudlu bukan menyentuh perempuan akan
tetapi men-jima' perempuan yang diambil dari pengertian secara majaz.
Seperti
contoh lain dikatakan; "Saya melihat harimau".Secara dhahir
(haqiqi), kata harimau mempunyai arti "hewan buas yang suka
memangsa". Namun kata harimau juga mempunyai arti
majaz yaitu "seorang pemberani".
2. Mafhum
Mafhum
dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:
a. Mafhum
Muwafaqah, yaitu apabila hukum yang timbulkan sama dengan hukum
yang difahamkan oleh bunyi lafadz. Seperti contoh hukum haramnya memukul orang tua sama dengan
haramnya membentak orang tua (Q.S. Al-Isra’ ayat 23). Yang mana hukum haram
"memukul" merupakan mafhum dari dalil haramnya "membentak".
Mafhum Muwafaqah dibagi menjadi dua
bagian
1)
Fahwal Khitab, yaitu apabila hukum yang dipahamkan
lebih utama (berat) daripada yang diucapkan. Seperti "memukul" orang
tua haram hukumnya karena merupakan hukum mafhum dari haramnya
"membentak" orang tua. Bahkan "memuku" dapat dikatakan
lebih tidak diharamkan karena tidak hanya dapat menimbulkan sakit hati, namun
lebih dari itu juga dapat menimbulkan luka fisik.
2)
Lahnal Khitab, yaitu apabila hukum yang dipahamkan
sama derajatnya daripada dengan yang diucapkan. Seperti contoh
"membakar" harta anak yatim hukumnya haram karena merupakan mafhum
dari memakan harta anak yatim dengan dhalim, sebagaimana firman Allah SWT:
إِنَّ
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي
بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا [النساء: 10]
"Sesungguhnya orang-orang yang
memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api
sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala
(neraka)". (Q.S.
An-Nisa: 10)
Secara
tekstual (mantuq) dikatakan bahwa memakan harta anak yatim dengan dzalim
hukumnya haram. Kemudian juga muncul hukum haram "membakar" harta
anak yatim berdasarkan teori mafhum. Antara "memakan" yang dijelaskan
secara mantuq derajatnya sama dengan "membakar" yang dihasilkan dari
kefahaman, yaitu sama-sama merusak harta anak yatim.[6]
b.
Mafhum Mukhalafah, yaitu pengertian hukum yang dipahami berbeda daripada
ucapan (mantuq), baik dalam istbat (menetapkan) maupun nafi (mentiadakan).
Seperti firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا
إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ. (الجمعة:9)
"Hai orang-orang yang beriman,
apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada
mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli". (Al-Jum'ah: 9)
Ayat
di atas secara tekstual (mantuq) menerangkan haramnya transaksi jual
beli pada saat sudah dikumandangkan shalat jum'at. Dari ayat tersebut pula
dapat diambil kefahaman bahwa sebelum dikumandangkan shalat jum'at atau sesudah
dilakukanya shalat jum'ah diperbolehkan berjualan. Kefahaman hukum tersebut
disebut mafhum mukhalafah. Karena hukum mantuq berbeda denan hukum mafhum.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Mutlaq
adalah suatu lafadz yang menunjukan pada makna/pengertian tertentu tanpa
dibatasi oleh lafadz lainnya. Contoh: lafadz ” hamba sahaya/ raqabah ”.
Muqayyad adalah lafadz yang menunjukan pada makna tertentu dengan batasan kata
tertentu. Contoh: ” hamba sahaya yang mukmin/ raqabah mu’minah” yang berarti
budak mukmin bukan budak lainnya.. Kaidah Mutlaq adalah Lafadz mutlaq tetap
dalam kemutlakannya hingga ada dalil yang membatasinya dari kemutlakan itu,
sedangkan Kaidah Muqayyad adalah Wajib mengerjakan yang Muqayyad kecuali jika
ada dalil yang membatalkannya.
apabila suatu makna yang ditunjukkan oleh suatu lafaz
menurut ucapan (makna tersurat), yakni menunjukkan makna yang berdasarkan
materi huruf-huruf yang diucapkan disebut pemahaman secara manthuq. mafhum adalah
sesuatu yang ditunjuk oleh lafaz, tetapi bukan dari ucapan lafaz itu sendiri. Dan
menurut Mudzakir, ialah makna yang ditunjukkan oleh lafaz tidak berdasarkan
pada bunyi ucapan.
B.
Kritik dan Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai
makalah tentunya
masih banyak kekurangan dan kelemahannya, karena terbatasnya pengetahuan dan
kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman
dapat memberikan kiritik dan saran yang membangun kepada penulis demi
sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di kesempatan berikutnya. Semoga
makalah ini berguna berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca pada
umumnya dan senantiasa tercapainya tujuan dan manfaat dalam penyusunan makalah
ini.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Al-Quran al-Karim
·
Al-Mujiz fi Ushul Fiqh ma’a Mu’jam
Ushul Fiqh oleh Muhammad Ubaidillah al-Is’adiy
·
Imam Jalaludin As –Syuthi,Samudra
Ulumul Qur’an,Jilid 3, Surabaya ,Pt Bina Ilmu, 2007, hlm.129
·
Yahya, Mukhtar dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar
Pembinaan Hukum Islami. Bandung :Al-Ma’rif, 1993.
·
Manna Kholil Al-Qattan, Studi
Ilmu Quran,Bogor.Pustaka Lentera.2006.
[1] Firdaus, Ushul
Fiqh (metode mengkaji dan memahami hukum islam secara komprehensif), Jakarta:
Zikrul Hakim, 2004
[2] Imam
Jalaludin As –Syuthi,Samudra Ulumul Qur’an,Jilid 3, Surabaya ,Pt Bina
Ilmu, 2007, hlm.129.
[3]Al-Maidah:
89
·
Jumantono Totok, Munir Amin
Samsul.2005.Kamus Ilmu Ushul Fiqh.Amzah.
·
Syafe’i Rahmat.2007.Ilmu Ushul
Fiqh.Bandung: Pustaka Setia.
·
Yunus Mahmud.2002.Tafsir Quran Karim.Jakarta:
Hidakarya Agung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar