Jumat, 30 Desember 2016

TAKHRIJ HADITS

TAKHRIJ HADITS
A.  Pengertian Takhrij Hadits
Kata takhrij ( (تخريجadalah bentuk mashdar dari (خرّج-يخرّج-تخريجا) yang secara bahasa berarti mengeluarkan sesuatu dari tempatnya.
Sedang pengertian takhrij al-hadits menurut istilah ada beberapa pengertian, di antaranya ialah:
1.    Suatu keterangan bahwa hadits yang dinukilkan ke dalam kitab susunannya itu terdapat dalam kitab lain yang telah disebutkan nama penyusunnya. Misalnya, penyusun hadits mengakhiri penulisan haditsnya dengan kata-kata akhrajahul Bukhari artinya bahwa hadits yang dinukil itu terdapat dalam kitab Jami’us Shahih Bukhari. Bila ia mengakhirinya dengan kata akhrajahul muslim berarti hadits tersebut terdapat dalam kitab Shahih Muslim.
2.    Suatu usaha mencari derajat, sanad, dan rawi hadits yang tidak diterangkan oleh penyusun atau pengarang suatu kitab.
3.    Mengemukakan hadits berdasarkan sumbernya atau berbagai sumber dengan mengikutsertakan metode periwayatannya dan kualitas haditsnya.
4.    Mengemukakan letak asal hadits pada sumbernya yang asli secara lengkap dengan matarantai sanad masing-masing dan dijelaskan kualitas hadits yang bersangkutan.
Dari sekian banyak pengertian takhrij di atas, yang dimaksud takhrij dalam hubungannya dengan kegiatan penelitian hadits lebih lanjut, maka takhrij berarti “penelusuran atau pencarian hadits pada berbagai kitab-kitab koleksi hadits sebagai sumber asli dari hadits yang bersangkutan, yang di dalam sumber tersebut dikemukakan secara lengkap matan dan matarantai sanad yang bersangkutan.”

B.   Faktor Penyebab Takhrij Al-Hadits
Adapun faktor utama yang menyebabkan kegiatan penelitian terhadap hadits (takhrij al-hadits) dilakukan oleh seorang peneliti hadits adlah sebagai berikut:
1.    Mengetahui asal-usul riwayat hadits yang akan diteliti, maksudnya adalah untuk mengetahui status dan kualitas hadits dalam hubungannya dengan kegiatan penelitian, langkah awal yang harus dilakukan oleh seorang peneliti adalah mengetahui asal-usul periwayatan hadits yang akan diteliti, sebab tanpa mengetahui asal-usulnya sanad dan matan hadits yang bersangkutan mengalami kesulitan untuk diketahui matarantai sanadnya sesuai dengan sumber pengambilannya, sehingga tanpa diketahui secara benar tentang matarantai sanad dan matan, maka seorang peneliti mengalami kesulitan dalam melakukan penelitian secara baik dan cermat. Makanya dari faktor ini, kegiatan penelitian hadits (takhrij) dilakukan.
2.    Mengetahui dan mencatat seluruh periwayatan hadits bagi hadits yang akan diteliti, maksudnya adalah mengingat redaksi hadits yang akan diteliti itu bervariasi antara satu dengan yang lain, maka diperlukan kegiatan pencarian seorang peneliti terhadap semua periwayatan hadits yang akan diteliti, sebab boleh jadi salah satu sanad haadits tersebut berkualitas dha’if dan yang lainnya berkualitas shahih.
3.    Mengetahui ada tidaknya syahid dan mutabi’ pada mata rantai sanad. Mengingat salah satu sanad hadits yang redaksinya bervariasi itu dimungkinkan ada perawi lain yang sanadnya mendukung pada sanad hadits yang sedang diteliti, maka sanad hadits yang sedang diteliti tersebut mungkin kualitasnya dapat dinaikkan tingkatannya oleh sanad perawi yang mendukungnya. Dari dukungan tersebut, jika terdapat pada bagian perawi tingkat pertama (yaitu tingkat sahabat) maka dukungan ini dikenal dengan syahid. Jika dukungan itu terdapat pada bagian perawi tingkat kedua atau ketiga (seperti pada tingkatan tabi’I atau tabi’it tabi’in), maka disebut sebagai mutabi’. Dengan demikian, kegiatan penelitian (takhrij) terhadap hadits dapat dilaksanakan dengan baik jika seorang peneliti dapat mengetahui semua asal-usul matarantai sanad dan matannya dari sumber pengambilannya. Begitu juga jalur periwayatan mana yang ada syahid dan mutabi’nya, sehingga kegiatan penelitian (takhrij) dapat dengan mudah dilakukan secara baik dan benar dengan menggunakan metode pentakhrijannya.

C.  Metode Takhrij Hadits
Di dalam melakukan takhrij, ada lima metode yang dapat dijadikan sebagai pedoman, yaitu:
1.    Takhrij Menurut Lafadz Pertama Matan Hadits
Metode ini tergantung pada lafadz pertama matan hadits. Hadits-hadits dengan metode ini dikodifikasi berdasarkan lafadz pertamanya menurut urutan huruf-huruf hijaiyyah, seperti hadits-hadits yang huruf pertama dan lafadz pertamanya alif, ba’, ta’, dan seterusnya. Seorang mukharrij yang menggunakan ini haruslah terlebih dahulu mengetahui secara pasti lafadz pertama dari hadits yang akan ditakhrij¬-nya, setelah itu barulah dia melihat huruf pertamanya pada kitab-kitab takhrij yang disusun berdasarkan metode ini, dan huruf kedua, ketiga, dan seterusnya. Seperti contoh jika kita mau men-takhrij hadits yang berbunyi:

الْكَاذِبِيْنَأَحَدُفَهُوَ كَذِبٌ أَنَّهُىيَرَهُوَوَحَدِيْثًاعَنِّىحَدَّثَمَنْ

Maka, langkah yang akan ditempuh dalam penerapan ini adalah menentukan urutan huruf-huruf yang terdapat pada lafadz pertamanya, dan begitu juga lafadz-lafadz selanjutnya:
a.    Lafadz pertama dari hadits di atas dimulai dengan huruf mim, maka di buka kitab-kitab hadits yang disusun berdasarkan metode ini pada bab mim.
b.    Kemudian mencari huruf kedua setelah mim, yaitu nun.
c.    Berikutnya mencari huruf-huruf selanjutnya, yaitu ha, da, dan tsa. Dan demikianlah seterusnya mencari huruf-huruf hijaiyyah pada lafadz-lafadz matan hadits tersebut.
Di antara kitab-kitab yang menggunakan metode ini adalah:
·      Al-Jami’ al-Shaghir min hadis al-Basyir al-Nadzir, karangan al-Suyuthi (w.911 H).
·      Al-Fath al-Kabir fi Dhamm al-Ziyadat ila al-Jami’ al-Shagir, juga karangan al-Suyuthi.
·      Jam’al-jawawi’ aw al-Jami’ al-Kabir, juga dikangan oleh al-Suyuthi.
·      Al-Jami’ al-Azhar min hadis al-Nabi al-Anwar, oleh al-Minawi (w.1031).
·      Hidayat al-Bari ila Tartib Ahadis al-Bukhari, oleh’Abd al-Rahim ibn ’Anbar al-Thahawi (w.1365).
·      Mu’jam jami’ al-Ushul fi Ahadis al-Rasul, oleh Imam al-Mubarak ibn Muhammad ibn al-Atsir al-Jazari.
2.    Takhrij Melalui Kata - Kata dalam Matan Hadits
Metode ini adalah berdasarkan pada kata-kata yang terdapat dalam matan hadits, baik berupa isim atau fiil. Hadits-hadits yang dicantumkan adalah berupa potongan atau bagian dari hadits, dan para ulama yang meriwayatkannya beserta nama kitab-kitab induk hadits yang dikarang mereka, dicantumkan di bawah potongan hadits-hadits tersebut.
Penggunaan metode ini akan lebih mudah manakala menitikberatkan pencarian hadits berdasarkan lafadz-lafadznya yang asing dan jarang penggunaannya. Umpamanya, pencarian hadits berikut:

        مِنْغُلُوْلٍ صَدَقَةًوَلاَ ,طَهُوْرٍ غَيْرِمِنْ صَلاَةًيَقْبَلُ لاَاللهَ إِنَّ

Dalam pencarian hadits di atas pada dasarnya dapat ditelusuri melalui kata-kata Thahurin, Shadaqotan, dan Ghululin. Akan tetapi, dari sekian kata yang dapat dipergunakan, lebih dianjurkan untuk menggunakan kata ghululin karena kata tersebut jarang adanya ketimbang kata-kata yang lain dari hadits di atas. Hal ini di sebabkan agar mudah di dalam mencari sumber hadits tersebut dari mana asalnya.
3.    Takhrij Melalui Perawi Hadits Pertama
Metode ini berlandaskan pada perawi pertama suatu hadits, baik perawi tersebut dari kalangan Shahabat, bila sanadnya muttashil sampai kepada Nabi saw, atau dari kalangan Thabi’in, apabila hadits tersebut Mursal. Para penyusun kitab-kitab takhrij dengan metode ini mencantumkan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para perawi pertama tersebut. Oleh karenanya, sebagai langkah pertama dalam metode ini adalah mengenal para perawi pertama dari setiap hadits yang hendak di takhrij, dalam kitab-kitab itu, dan selanjutnya mencari hadits dimaksud di antara hadits-hadits yang tertera di bawah nama perawi pertama tersebut.
Kitab-kitab yang disusun berdasarkan metode ini adalah kitab-kitab al-Athraf dan kitab-kitab Musnad. Kitab al-Athraf adalah kitab yang menghimpun hadits-hadits yang diriwayatkan oleh setiap Shahabat. Penyusunnya hanya menyebutkan beberapa kata atau pengertian dari matan hadits, yang dengannya dapat dipahami hadits dimaksud. Sementara dari segi sanad, seluruh sanad-sanadnya dikumpulkan. Di antara kitab-kitab al-Athraf ini adalah: Athraf al-Shahihain, karangan Imam Abu Mas’ud Ibrahim al-Dimasyqi (w.400 H), Athraf al-Kutub al-Sittah, karangan Syams al-Din al-Maqdisi (w. 507 H), dan lainnya.
Adapun kitab Musnad adalah kitab yang disusun berdasarkan perawi teratas, yaitu Shahabat, dan memuat hadits-hadits setiap Shahabat. Kitab ini menyebutkan seorang Shahabat dan di bawah namanya itu dicantumkan hadits-hadits yang diriwayatkan dari Nabi saw beserta pendapat dan tafsirannya. Suatu kitab musnad tidaklah memuat keseluruhan Shahabat, ada diantaranya yang memuat Shahabat dalam jumlah besar dan ada yang memuat Shahabat-Shahabat yang memiliki kesamaan dalam hal-hal tertentu, seperti musnad Shahabat yang sedikit riwayatnya, atau musnad sepuluh Shahabat yang di jamin masuk syurga, atau bahkan ada musnad yang memuat hadits-hadits dari satu orang Shahabat, seperti musnad Abu Bakar.
Hadits-hadits yang terdapat di dalam kitab Musnad tidak diatur menurut suatu aturan apapun dan tidak memiliki nilai atau kualitas yang sama. Dengan demikian, di dalam musnad terdapat hadits-hadits sahih, hasan, dan dha’if, dan masing-masing tidak terpisah antara yang satu dengan yang lainnya tetapi dikumpulkan menjadi satu. Diantara contoh kitab Musnad tersebut adalah Musnad Imam Ahmad bin Hanbal.
4.    Takhrij Berdasarkan Tema Hadits
Metode ini berdasarkan pada tema dari suatu hadits. Oleh karena itu, untuk melakukan takhrij dengan metode ini, perlu terlebih dahulu disimpulkan tema dari suatu hadits yang akan di-takhrij, dan kemudian baru mencarinya melalui tema tersebut pada kitab-kitab yang disusun menggunakan metode ini. Seringkali suatu hadits memiliki lebih dari satu tema. Dalam kasus demikian seorang mukharrij harus mencarinya pada tema-tema yang mungkin di kandung oleh hadits tersebut.
Description: 1177998.gif









Hadits diatas mengandung beberapa tema, yaitu iman, tauhid, salat, dan zakat. Berdasarkan tema-tema tersebut, maka hadits di atas harus dicari di dalam kitab-kitab hadits di bawah tema-tema itu. Dari keterangan ini jelaslah bahwa takhrij dengan metode ini sangat tergantung kepada pengenalan terhadap tema hadits, sehingga apabila tema dari suatu hadits tidak diketahui, maka akan sulitlah untuk melakukan takhrij dengan menggunakan metode ini. 
Diantara karya tulis yang disusun berdasarkan metode ini adalah:
·      Kanz al-Ummal fi Sunan al-Aqwal wa al-Af’al karangan al-Muttaqi al-Hindi.
·      Miftah Kunuz al-Sunnah oleh A.J Wensink.
·      Nashb al-Rayah fi Takhrij Ahadis al-Hidayah oleh al-Zayla’i.
·      Al-Dariyah fi Takhrij Ahadis al-Hidayah oleh Ibnu Hajar al-Asqholany.
Dan kitab-kitab lainnya yang disusun berdasarkan tema-tema tertentu dalam bidang Fiqh, Hukum, Targhib dan Tarhib, Tafsir, serta Sejarah.
5.    Takhrij Berdasarkan Status Hadits
Metode ini memperkenalkan suatu upaya baru yang telah dilakukan para ulama hadits dalam menyusun hadits-hadits, yaitu penghimpunan hadits berdasarkan statusnya. Karya-karya tersebut sangat membantu sekali dalam proses pencarian hadits berdasarkan statusnya, seperti Hadits-hadits Qudsi, Hadits Masyhur, Hadits Mursal, dan lainnya. Seorang peneliti hadits, dengan membuka kitab-kitab seperti diatas, dia telah melakukan takhrij al-Hadits.
Kitab-kitab yang disusun berdasarkan metode ini adalah:
·      Al-Azhar al-Mutanatsirah fi al-Akhbar al-Mutawatirahkarangan al-Suyuthi.
·      Al-Ittihafat al-Sanariyyat fi al-Ahadis al-Qudsiyyah karangan al-Madani.
·      Al-Marasil oleh Abu Dawud, dan kitab-kitab sejenis lainnya.
Demikianlah metode-metode takhrij yang dapat dipergunakan oleh para peneliti hadits dalam rangka mengenal hadits-hadits Nabi saw dari segi sanad dan matannya, terutama dari segi statusnya, yaitu diterima (maqbul) dan ditolak (mardud)-nya suatu hadits.

D.  Kitab - Kitab Takhrij Hadits
Ada beberapa kitab yang diperlukan untuk melakukan takhrij hadits. Adapun kitab-kitab tersebut adalah sebagai berikut:
1.    Hidayatul bari ila tartibi ahadisil Bukhari
Penyusun kitab ini adalah Abdur Rahman Ambar al-Misri at-Tahtawi. Kitab ini disusun khusus untuk mencari hadits-hadits yang termuat dalam kitab Sahih Bukhari. Lafadz-lafadz hadits disusun menurut aturan urutan huruf abjad Arab. Namun hadits-hadits yang dikemukakan secara berulang dalam kitab Sahih Bukhari tidak dimuat secara berulang dalam kamus di atas. Dengan demikian perbedaan lafadz dalam matan hadits riwayat al-Bukhari tidak dapat diketahui lewat kamus tersebut. 
2.    Mu’jam al-Fazi wala siyyama al-Garibu minha fihr litartibi ahadisi sahihi Muslim
Kitab tersebut merupakan salah satu juz, yakni juz ke-V dari kitab Sahih Muslim yang dikutip oleh Muhammad Abdul Baqi. Jus V ini merupakan kamus yang di dalamnya di mulai juz I-V yang berisi:
·      Daftar urutan judul kitab serta nomor hadits dan juz yang memuatnya.
·      Daftar nama para Shahabat Nabi yang meriwayatkan hadits yang termuat dalam kitab Sahih Muslim.
·      Daftar awal matan hadits dalam bentuk sabda yang tersusun menurut abjad serta diterangkan nomor-nomor hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, bila kebetulan hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari sendiri.
3.    Miftahus Sahihain
Kitab ini disusun oleh Muhammad Syarif bin Mustafa al-Tauqiah kitab ini dapat digunakan untuk mencari hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan diriwayatkan oleh Muslim. Akan tetapi hadits-hadits yang dimuat dalam kitab ini hanyalah hadits-hadits yang berupa qauliyah saja, hadits-hadits tersebut disusun menurut abjad dari awal lafal matan hadis.
4.    Al-Bughyatu fi tartibi ahadisi al-hilyah
Kitab ini disusun oleh Said Abdul Aziz bin al-Said Muhammad bin Said Siddiq al-Qammari. Kitab hadits tersebut memuat dan menerangkan hadits-hadits yang tercantum dalam kitab yang disusun Abu Nuaim al-Asabuni (w.430 H) yang berjudul Hilyatul auliyai wababaqatul asfiyai. Sejenis dengan kitab tersebut adalah kitab Miftahut tartibi li ahadisi tarikhul khatib, yang disusun oleh Said Ahmad bin Said Muhammad bin Said As-Siddiq al-Qammari yang memuat dan menerangkan hadits-hadits yang tercantum dalam kitab sejarah yang disusun oleh Abu Bakar bin Ali bin Subit bin Ahmad al-Bagdadi yang dikenal dengan al-Khatib al-Bagdadi (w.463 H). Susunan kitabnya diberi judul Tarikhul Bagdadi yang terdiri atas empat jilid.
5.    Al-Jami’us Sagir
Kitab ini disusun oleh Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuti (w. 91 H). Kitab hadits tersebut memuat hadits-hadits yang terhimpun dalam kitab himpunan kutipan hadits yang disusun oleh Imam Suyuti juga yaitu Kitab Jam’ul Jawani. Hadits yang dimuat di dalam kitabjami’us Sagir disusun berdasarkan urutan abjad dari awal lafal matan hadits. Sebagian dari hadits-hadits itu ada yang ditulis secara lengkap dan adapula yang ditulis sebagian-sebagian saja, namun telah mengandung pengertian yang cukup.
Kitab hadits tersebut juga menerangkan nama-nama Shahabat Nabi saw yang meriwayatkan hadits yang bersangkutan dan nama-nama mukharijnya. Selain hampir setiap hadits yang dikutip dijelaskan kualitasnya menurut penilaian yang dilakukan atau disetujui oleh Imam Suyuti.
6.    Al-mu’jam al-Mufahras li alfazil hadis nabawi
Penyusun kitab ini adalah sebuah tim dari kalangan orientalis. Diantara anggota tim yang paling aktif dalam kegiatan proses peyusunan ialah Dr. Arnold John Weinsinck (w.1939 M), seorang profesor bahasa-bahasa semit, termasuk bahasa Arab di Universitas Leiden, negeri Belanda. Kitab ini dimaksudkan untuk mencari hadits berdasarkan petunjuk lafadz matan hadits. Berbagai lafadz yang disajikan tidak dibatasi hanya lafadz-lafadz yang berbeda di tengah dan bagian-bagian lain dari matan hadits. Dengan demikian, kitab Mu’jam mampu memberikan informasi kepada pencari matan dan sanad hadits, asal saja sebagian dari lafadz matan yang dicarinya itu telah diketahuinya. Kitab Mu’jam ini terdiri dari tujuh juz dan dapat digunakan untuk mencari hadits-hadits yang terdapat dalam sembilan kitab hadits, yakni: Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Turmuzi, Sunan Nasai, Sunan Ibnu Majjah, Sunan ad-Darimi, Muwatha’ Malik dan Musnad Ahmad.

E.   Manfaat Takhrij Al-Hadits
Ada beberapa manfaat dari takhrij al-hadits antara lain sebagai berikut:
1.    Memberikan informasi bahwa suatu hadits termasuk hadits shahih, hasan, ataupun dhaif, setelah diadakan penelitian dari segi matan maupun sanadnya.
2.    Memberikan kemudahan bagi orang yang mau mengamalkan setelah tahu bahwa suatu hadits adalah hadits makbul (dapat diterima). Dan sebaliknya tidak mengamalkannya apabila diketahui bahwa suatu hadits adalah mardud (tertolak).
3.    Menguatkan keyakinan bahwa suatu hadits adalah benar-benar berasal dari Rasulullah saw. Yang harus kita ikuti karena adanya bukti-bukti yang kuat tentang kebenaran hadits tersebut, baik dan segi sanad maupun matan.

F.   Sejarah Takhrij Al-Hadits
Penguasaan para ulama terdahulu terhadap sumber-sumber As-Sunnah begitu luas, sehingga mereka tidak merasa sulit jika disebutkan suatu hadits untuk mengetahuinya dalam kitab-kitab As-Sunnah. Ketika semangat belajar sudah melemah, mereka kesulitan untuk mengetahui tempat-tempat hadits yang dijadikan sebagai rujukan para ulama dalam ilmu-ilmu syar'i. Maka sebagian dari ulama bangkit dan memperlihatkan hadits-hadits yang ada pada sebagian kitab dan menjelaskan sumbernya dari kitab-kitab As-Sunnah yang asli, menjelaskan metodenya, dan menerangkan hukumnya dari yang shahih atas yang dha'if. Lalu muncullah apa yang dinamakan dengan "Kutub At-Takhrij" (buku-buku takhrij), yang diantaranya adalah:
·      Takhrij Ahaadits Al-Muhadzdzab; karya Muhammad bin Musa Al-Hazimi Asy-Syafi'I (wafat 548 H). Dan kitab Al-Muhadzdzab ini adalah kitab mengenai fiqih madzhab Asy-Syafi'I karya Abu Ishaq Asy-Syairazi.
·      Takhrij Ahaadits Al-Mukhtashar Al-Kabir li Ibni Al-Hajib; karya Muhammad bin Ahmad Abdul-Hadi Al-Maqdisi (wafat 744 H).
·      Nashbur-Rayah li Ahaadits Al-Hidyah li Al-Marghinani; karya Abdullah bin Yusuf Az-Zaila'I (wafat 762 H).
·      Takhrij Ahaadits Al-Kasyaf li Az-Zamakhsyari; karya Al-Hafidh Az-Zaila'I juga. [Ibnu Hajar juga menulis takhrij untuk kitab ini dengan judul Al-Kafi Asy-Syaafi fii Takhrij Ahaadits Asy-Syaafi].
·      Al-Badrul-Munir fii Takhrijil-Ahaadits wal-Atsar Al-Waqi'ah fisy-Syarhil-Kabir li Ar-Rafi'I; karya Umar bin 'Ali bin Mulaqqin (wafat 804 H).
·      Al-Mughni 'an Hamlil-Asfaar fil-Asfaar fii Takhriji maa fil-Ihyaa' minal-Akhbar; karya Abdurrahman bin Al-Husain Al-'Iraqi (wafat tahun 806 H).
·      Takhrij Al-Ahaadits allati Yusyiiru ilaihat-Tirmidzi fii Kulli Baab; karya Al-Hafidh Al-'Iraqi juga.
·      At-Talkhiisul-Habiir fii Takhriji Ahaaditsi Syarh Al-Wajiz Al-Kabir li Ar-Rafi'I; karya Ahmad bin Ali bin Hajar Al-'Asqalani (wafat 852 H).
·      Ad-Dirayah fii Takhriji Ahaaditsil-Hidayah; karya Al-Hafidh Ibnu Hajar juga.

·      Tuhfatur-Rawi fii Takhriji Ahaaditsil-Baidlawi; karya 'Abdurrauf Ali Al-Manawi (wafat 1031 H).

Tidak ada komentar: